Ketika kami turunkan makalah tentang pensyiahan Indonesia secara sistematis mungkin dihati kita ada tanda Tanya besar, bagaimana mungkin buku-buku syiah yang penuh dengan kesesatan tersebut bisa lolos dan bahkan resmi dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam? Marilah kita menoleh kebelakang sejenak untuk melihat siapa saja orang yang diberi wewenang ikut andil dalam menyusun kurikulum pendidikan di Indonesia?
Sebagaimana dimuat di Nahimunkar.com dari beritasatu.com dengan judul “Goenawan Mohammad Dilibatkan Susun Kurikulum Pelajaran Sastra†maka kita bisa menjadikannya sebagai contoh, sekali lagi sebagai contoh –sebab kita memang belum tahu siapa yang meloloskan- bahwa lolosnya buku syiah tersebut sangat mungkin jika orang-orang yang ditunjukkan untuk membentuk karakter bangsa melalui buku-buku pendidikan anak-anak bangsa ini tidak memiliki akidah yang sesuai dengan akidah al-Quran dan sunnah. Disebut di nahimunkar.com:
“Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan, Wiendu Nuryanti, mengatakan sastra akan masuk ke dalam kurikulum dan diajarkan di sekolah-sekolah.
“Bagi generasi muda, sastra itu sangat penting. Sesuai dengan apa yang disampaikan Ki Hajar Dewantara, tidak hanya olah nalar atau pikir saja yang diajarkan di sekolah. Tapi juga olah cipta dan rasa,†kata Wiendu, di Jakarta, Senin (19/11).
Saat ini Kemendikbud sedang melakukan penyusunan kurikulum dengan melibatkan para sastrawan, misalnya Goenawan Mohammad.â€
mari mengenal siapa Goenawan Mohammad !
Cara Goenawan Mohamad Pemimpin Tempo Jualan Marxisme dan Merusak Agama
BAGIÂ yang belum tahu latar belakang Goenawan Mohamad (GM), mungkin terheran-heran dengan minatnya terhadap bacaan-bacaan dan pemikiran-pemikiran yang membincangkan soal Tuhan namun dengan orientasi yang meniadakan, meragukan, dan sejenisnya.
Cobalah sesekali kunjungi situs taman kembang pete yang memuat wawancara majalah porno Playboy edisi 16 April 2007 dengan Goenawan Mohamad (GM) (http://tamankembang pete.blogspot.com/2007/04/
GM sendiri mengakui bahwa bapaknya kiri. “Iya, Bapak saya seorang kiri. Saya terlalu kecil waktu itu untuk mengerti. Kakak saya, Kartono, cerita dalam perpustakaan bapak saya itu Karl Marx isinya. Dia aktivis politik, pelopor kemerdekaan. Dia dibuang ke Digul bersama ibu saya. Pulang, tahun 1945, Belanda datang dia ditangkap, ditembak mati. Saya umur lima tahun ketika itu.â€
Bahkan, melalui wawancara majalah porno tersebut, GM memposisikan orang-orang yang berpaham komunis setara dengan yang non komunis. Menurut GM, “Saya lihat orang-orang komunis sama patriotiknya dengan yang bukan komunis, sama-sama ingin membikin Indonesia lebih baik…†Begitu kata GM.
Lain yang dikata GM lain pula dalam kenyataan. Dan ternyata, patriotisme kaum yang berpaham komunis itu ditunjukkan –setidaknya– melalui dua kali kudeta, di tahun 1948 dan 1965, membunuhi ulama; juga mengolok-olok agama dan umat beragama, sebagaimana kini dilakukan oleh sebagian anasir JIL (Jaringan Islam Liberal) dan sejumlah mahasiswa kiri di UIN/IAIN.
Dalam salah satu catatan pinggirnya berjudul Atheis (30 Juli 2007), GM seperti sedang ‘membanggakan’ kitab bacaannya yang membincangkan keberadaan tuhan, antara lain God Is Not Great: Religion Poisons Everything karya penulis Inggris bernama Christopher Hitchens yang meyakini bahwa Tuhan tidak akbar dan bahwa agama adalah racun. Masih ada beberapa buku lainnya yang dibaca GM, meski tidak tuntas.
Bagaimana kesan GM setelah membaca buku-buku –yang tidak tuntas itu? Menurut GM, “… saya telah merasa setengah terusik, tersinggung, berdebar-debar, terangsang berpikir, tapi juga gembira…â€
Sebuah potret perasaan yang membingungkan, dan boleh jadi mewakili kondisi psikis GM secara keseluruhan. Kalau membaca buku-buku seperti itu membuat GM terusik, tersinggung, berdebar-debar dan sebagainya, mengapa ia menyediakan waktu khusus untuk mengunyah-ngunyah sesuatu yang tidak bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat luas.
Bukankah akan lebih baik energi dan kekuatan berfikir GM dicurahkan membaca-baca buku bermanfaat, seperti cara menanam tomat yang baik, cara menanam padi yang baik, kemudian ditulis di majalahnya untuk dibaca dan diterapkan oleh orang lain?
Tapi, itu merupakan pilihan GM membaca buku-buku yang tidak ada manfaatnya bagi rakyat kebanyakan. Meski, GM setelah membaca buku-buku itu –dan tidak tuntas– ia merasa setengah terusik, tersinggung, berdebar-debar, terangsang berpikir, tapi juga gembira. Mengapa gembira? Karena, menurut GM, “…kini datang beberapa orang atheis yang sangat fasih dengan argumen yang seperti pisau bedah. Dengan analisa yang tajam mereka menyerang semua agama, tanpa kecuali, di zaman ketika iman dikibarkan dengan rasa ketakutan, dan rasa ketakutan dengan segera diubah jadi kebencian. Dunia tak bertambah damai karenanya. Maka siapa tahu memang dunia menantikan Hitchens, Harris, dan Dawkins. Siapa tahu para atheis inilah yang akan membuat kalangan agama mengalihkan fokus mereka dan kemudian berhenti bermusuhan.â€
Jadi, GM gembira karena para penganut atheis telah hadir dengan pisau argumennya yang tajam dan menyerang semua agama, sehingga kehadirannya bagaikan Imam Mahdi dalam konsep syi’ah (bukan Imam Mahdi yang disabdakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) atau Lia Eden, yang memang ditunggu-tunggu dunia, bahkan siapa tahu para penganut atheis itu menjadi juru damai di antara penganut agama yang ‘gemar’ bertikai satu sama lain. Begitulah kira-kira konsepsi GM, sehingga ia gembira.
Bila para penganut agama cenderung bertikai satu sama lain, sehingga suara dan kehadiran para penganut atheis menjadi perlu; maka, bila pelaku pertikaian dan sumber pertikaian itu sendiri bukan penganut agama tetapi sebuah rezim, seperti rezim Bush menyerang Iraq, menyerang Afghanistan dan sebagainya bukan atas nama agama, maka isme apa yang ditunggu-tunggu untuk besuara dan hadir?