Bismillahirrahminirrahim
Muqaddimah
Pada kesempatan yang berbahagia ini saya akan membawakan dan memaparkan satu materi yang sebagaimana yang diantarkan tadi oleh bapak moderator berusaha untuk lebih menukik pada tema utama yang kita angkat pada kesempatan ini. Kalau tadi Bapak Prof. Baharun telah menjelaskan tentang bagaimana semestinya kita Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mewariskan kemurnian Islam dari Rasul secara serius berusaha untuk mengembangkan ukhuwah islamiyah di antara kita.
Tidak mengapa saya sampaikan bahwa saya alumni pesantren modern IMMIM, dan dahulu KH. Fadli Luran, memiliki dan mengajarkan kepada kami satu ajaran serta semboyan yang sangat bagus untuk selalu kita hidup-hidupkan, yang menjadi trade mark tersendiri bagi IMMIM dan juga alumni-alumninya, yaitu ungkapan yang mengatakan “Bersatu dalam akidah, toleransi dalam furu’ dan khilafiyah†dan semenjak saya setingkat smp-sma, terus terang ungkapan ini sudah sangat sering saya dengar, tapi mungkin waktu itu karena persoalan usia, belum mampu saya pahami secara tepat dan mendalam apa makna tersebut.
Tetapi justru setelah saya pergi belajar ke madinah, ke kota Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di mana Nabi mendidik murid-muridnya, generasi pertama dari umat ini, murid-murid yang dibimbing langsung oleh guru terbesar yang pernah ada dalam sejarah umat manusia, maka subhanallah, saya bisa memahami dengan benar dan saya bisa memahaminya secara mendalam, betapa tepat apa yang telah beliau ajarkan kepada kami dahulu itu “Bersatu dalam akidah, toleransi dalam furu’ dan khilafiyahâ€.
Kalau kita menginginkan persatuan, maka kunci persatuan itu adalah pada akidah ahlusunnah wal jamaah, dan kalau kita ingin mengembangkan sikap toleransi, lapang dada dan terbuka terhadap perbedaan-perbedaan, maka itu bisa kita lakukan apabila itu terjadi dalam wilayah-wilayah furu’ dan khilafiyah.
Saya juga teringat betapa Imam Darul Hijrah, Imamnya kota Madinah, Imam Malik Rahimahullahu ta’ala, tiga kali berturut-turut khalifah yang pernah memerintah Khilafah Abbasiyah pernah menawarkan kepada beliau untuk menjadikan kitab Muwaththo’ ini sebagai kitab resmi hukum negara, mereka mengatakan -jadi tiga khlaifah berturut-berturut menawarkan kepada Imam Malik-, “Wahai Imam Malik, bagaimana kalau kitab yang engkau karang itu, kitab Muwaththo’ yang berisikan tentang Furu’ Fiqhiyyah berbicara tentang hukum-hukum cabang saya tetapkan sebagai ketentuan yang mengikat seluruh masyarakat Islam yang di atas permukaan bumi ini†karena dahulu Cuma ada khilafah Islamiyah, belum ada negara-negara bangsa akibat penjajahan yang kita saksikan pada hari ini.
Dalam setiap kesempatan tersebut Imam Malik rahimahullahu ta’ala selalu menolak dan mengatakan, “wahai khalifah, sesungguhnya orang-orang yang sudah tersebar, kaum Muslimin yang ada ini mereka telah mendengar hadis-hadis tentang persoalan-persoalan furu’iyah, tentang persoalan-persoalan fiqh, cabang-cabang hukum yang mungkin saja tidak didengar oleh sahabat-sahabat yang lain, oleh kaum Muslimin yang ada pada tempat-tempat yang lain, yang ada di wilayah Islam yang lain, maka wahai khalifah saya tidak  ingin jangan sampai kemudian kebijakan untuk menyatukan seluruh kaum Muslimin dalam satu hukum ini justru akan menimbulkan kemudharatan yang saya pandang bahwa biarlah orang-orang itu berbeda pendapat sesuai dengan apa yang mereka pelajari yang penting masing-masing mengamalkan sesuai dengan hadis yang sampai pada merekaâ€, seakan-akan Imam Malik mengajarkan kepada kita bahwa perbedaan dalam furu’iyah itu adalah hal biasa, sebagaimana hal itu terjadi pada zaman Nabi saw, terjadi pada zaman sahabat, terjadi pada saat ini, maka biarlah dia menjadi realitas sepanjang sejarah.
Akan tetapi, kita melihat bahwa walaupun Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal berbeda pendapat dalam persoalan furu’iyah, tidak pernah kita mendengar bahwa Imam Abu Hanifah misalnya menganut faham Syiah, tidak pernah kita mendengar bahwa Imam Malik menganut paham Inkarus Sunnah, tidak pernah kita mendengar bahwa Imam Ahmad menganut paham pluralism agama, tidak pernah. Kenapa? Karena memang mereka bersatu dalam akidah, toleransi dalam furu’ dan khilafiyah.
Inilah saya tekankan kembali bahwa justru setelah saya kembali menyelesaikan pendidikan saya di kota Rasulullah shallallahu alaihi wasallam saya bisa merasakan betapa dalam ajaran dari guru kami dahulu, KH. Fadli Luran.
Â
Terdapat Racun Dalam Keindahan Retorika Jalaluddin Rakhmat
Pada kesempatan ini saya akan membahas dan mengangkat pemikiran salah seorang tokoh yang sangat jamak dikenal di masyarakat kita sebagai tokoh yang getol mempropagandakan paham Syiah.
Tahun 1998, 1992, 1993, 1995, pembaca tentu sangat ingat kondisi pada saat itu, penerbit Mizan dengan buku-bukunya, revolusi Iran, Islam Aktual, Islam Alternatif, dan seterusnya. Terus terang ketika saya di persantren saya juga termasuk pembaca berat buku-bukunya Jalaluddin Rakhmat. Sebelum saya tamat pesantren saya beli bukunya “Retorika Praktisâ€, kenapa? Karena memang bahasanya bagus. Dan kalau kita membaca bukunya seakan-akan kita dibawa mengalir oleh sebuah arus air, akan tetapi pembaca sekalian, setelah semakin lama saya belajar Islam bahkan jauh-jauh harus pergi meninggalkan orang tua, keluarga, meninggalkan kawan-kawan, dan guru-guru yang ada di sini, belajar di kota Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saya semakin faham, bahwa dalam keindahan retorika yang disampaikan oleh Jalaluddin Rakhmat, dalam kesejukan yang kadang-kadang diselipkan dalam judul buku-bukunya sebenarnya terdapat racun yang sangat berbahaya bagi kelangsungan dan kehidupan bermasyarakat kita di negeri kita yang sama-sama kita cintai ini.
Mengungkap Kedok Jalaluddin Rakhmat
Saya langsung saja masuk ke dalam poin-poin yang ada,