Seorang kyai Betawi memborong kitab di Festifal Istiqlal 1991 sampai Rp2 juta. Padahal nilai tukar dolar saat itu sekitar 2.000-an rupiah per dolar, belakangan tahun 1992 akhir sekitar 2.200 rupiah per dolar. Namun seorang kyai Betawi membeli kitab di stand kitab sampai 2 juta rupiah.
Itulah Kyai Syafi’i Hazami yang tinggal di Gandaria Jakarta Selatan. Saya tanya kepadanya, bagaimana Pak Kyai bisa sempat membaca kitab-kitab yang banyak yang telah Pak Kyai miliki?
Dia jawab, saya mengajar ngaji (kitab-kitab) tiap hari di berbagai tempat dari pagi hingga baru sampai di rumah lagi pukul 23 malam. Lalau makan malam, kemudian baca kitab, hingga pukul dua malam.
Masyaa Allah.
Dia melanjutkan, sebenarnya saya prihatin, banyak buku terjemahan yang penerjemahannya kurang baik dan kurang tepat. Saya ingin sekali menerjemah kitab-kitab, namun tidak sempat.
Disamping mengajar ngaji kitab-kitab, Kyai Syafi’i Hazami juga siaran tanya jawab Agama Islam di suatu pemancar radio di Jakarta, kemudian dibukukan dengan judul Taudhihul Adillah beberapa jilid.
Kyai Syafi’i Hazami juga punya pengajian khusus untuk para usadz. Dulu di antaranya di Masjid dekat pom bensin di Jl Baypass yang jalan raya itu ada kantor Kanwil Kementerian Agama DKI Jakarta. Saya pernah hadir, ternyata ada ustadz tetangga saya yang ikut pengajian itu, yang sampai kini dia jadi imam masjid, dan memang fasih dalam membaca kitab-kitab, dan banyak hafalan Al-Qur’annya.
Baru-baru ini saya tanyakan kepada Ustadz tetangga saya itu, bagaimana keadaan pengajian para Ustadz setelah Kyai Syafi’i Hazami wafat (wafat tahun 2006 di usia 75 tahun)? Dijawab, digantikan oleh Pak Saefuddin Amsir, tapi belakangan belum tentu aktif, karena dia sering pergi.
Siapa pengganti Pak Kyai Syafi’i Hazami itu? Dalam berita pernah diberitakan, … orang seperti Saefuddin Amsir yang dikenal seolah sebagai penerus atau pengganti Ulama Betawi KH Syafi’i Hazami dan dulunya dikenal akrab dengan KH Abdullah Syafi’I ulama Betawi, namun kini lewat jalur NU tega-teganya Saefuddin Amsir hadir sebagai pembicara di acara syiah yang sejatinya adalah perayaan mengutuk para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu.( By nahimunkar.com on 26 October 2013)
– See more at: http://www.nahimunkar.com/orang-betawi-ridwan-saidi-dan-saefuddin-amsir-jadi-pendukung-syiah/#sthash.kqisr67H.dpuf
Demikianlah akhir dari pengajian kitab yang telah berlangsung untuk para ustadz, namun tampaknya tidak lagi berlanjut dengan baik.
***
Kyai Betawi lainnya yang memiliki kitab sangat banyak adalah KH Abdullah Syafi’i pendiri perguruan As-Syafi’iyah di Jakarta. Rumahnya yang luas, ada ruangan yang luas pula berupa perpustakaan pribadi yang penuh dengan kitab. Dari yang tebal berjilid-jilid sampai yang tipis-tipis ada.
Kyai Abdullah Syafi’i tidak terlalu padat jadwalnya di masa tua. Hingga banyak waktu untuk membaca kitab-kitab di perpustakaannya, rata-rata sampai jam dua malam pula, menurut pengakuannya. Dan paginya, biasanya memberikan kuliah ba’da subuh di masjid dekat rumahnya di Balimatraman dekat Manggarai Jakarta. Kemudian agak siangnya disambung lagi ceramah lewat radio. Sampai sekarang masih sering diputar pula ceramah-ceramahnya lewat radio peninggalannya.
Ceramah-ceramahnya tampak berbobot dan urut runtut (maaf, orang Betawi hampir sulit ditemui yang pidatonya urut runtut seperti beliau, maka jangan heran kalau ada khatib-khatib di Jakarta yang kita sampai sulit mengambil kesimpulan dari apa yang dihutbahkan, maaf). Pidato yang urut dan berbobot itu karena memang didasari dengan ilmu yang didapat dari ketekunan beliau membaca kitab-kitab.
Kyai Abdullah Syafi’i wafat Selasa tgl. 18 Dzulhijjah 1405 H./ 3 September 1985 dalam umur 75 tahun.
***
Kyai Noer Ali Bekasi dikenal sebagai pejuang kemerdekaan hingga dijuluki singa Bekasi. Kyai ini keluaran dari Arab, jadi kalau mengenai membaca kitab dan mengajarkannya kepada para santrinya dan masyarakat umum sudah jadi kebiasaan sehari-hari.
Beliau memilih mengajarkan kitab-kitab kepada para santri dan umat Islam di sekitarnya dari satu masjid ke masjid yang lain. Bahkan konon ketika beliau sudah tua dan sudah sangat sulit untuk menjaga dari ’semacam gangguan’ pipis pun beliau masih mengajar ngaji kitab-kitab dari masjid satu ke masjid lainnya.
Beliau pernah mengaku kepada saya, di tahun 1975 diminta untuk memimpin MUI (Majelis Ulama Indonesia) wilayah Jawa Barat, namun beliau tolak. Menurut beliau, ada apa-apanya, dan lebih baik mengajar ngaji saja. Itu beliau ucapkan ketika saya berjalan mendampingi beliau, dari satu lokasi pesantrennya ke lokasi lainnya, yang saya saksikan memang kemudian mengajarkan kitab di ruang kelas. Dan sayapun menungguinya sambil mendengarkan.
Tanggal 3 Mei 1992 KH Noer Ali wafat dalam usia 78 tahun.
***
Dahlan Basri Ketua Majlis Fatwa Dewan Dakwah memiliki kitab yang begitu banyak. Ketika saya berkunjung ke rumahnya, saya kagum dengan koleksi kitab-kitabnya yang cukup banyak dan beragam.
Ketika menteri Agama Munawir Sjadzali melontarkan gagasan aneh, menganggap hukum waris Islam dalam Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat 11 itu menurut dia tidak adil, maka Ustadz Dahlan Basri tampil membantahnya. Pernah saya muat di Harian Pelita, bantahan lantang terhadap gagasan Pak Menteri Agama itu. Juga beliau berbicara dalam seminar mengenai masalah itu di Perguruan Islam as-Syafi’iyah di Jakarta.
Dengan rajinnya membaca kitab-kitab yang beliau miliki, maka Dewan Dakwah rupanya mempercayakan bagian fatwa untuk beliau pimpin. Beliau mengajarkan ilmunya yang merujuk kepada kitab-kitab itu di perguruan tinggi milik Dewan Dakwah. Di samping itu, walau beliau kurang jelas aksen-aksen suaranya, namu sering pula diundang untuk memberikan pengajian-pengajian.
Satu kekhasan Pak Dahlan Basri, tidak mau tedeng aling-aling. Ketika diundang oleh biro perjalanan haji TU di Jakarta yang biro itu pernah memberangkatkan keluarga Cendana (Pak Presiden Soeharto dan keluarga besarnya) untuk berhaji, Pak Dahlan Basri ditanya sesuatu, yang bagi Pak Dahlan pertanyaan itu agak aneh. Maka disemprotlah penanyanya. Ternyata yang tanya itu justru bos pemilik biro itu. Ya ga’ apa-apa. Karena saya menyampaikan kebenaran bukan karena tolah toleh agar nantinya tetap diundang lagi. Ga’ ada urusan, mau diundang lagi atau tidak, yang peting kebenaran harus disampaikan, ujar beliau ketika menceritakan masalah itu kemudian hari.
Ketika ada dosen UIN Jakarta yakni Zainun Kamal yang berpendapat wanita Muslimah boleh dinikai lelaki non Islam, maka diadakan diskusi di Al-Azhar Jakarta tahun 2002. Dahlan Basri pun bertandang menghadapinya. Dahlan Basri mengemukakan riwayat tentang adanya dua orang yang bersengketa, telah menanyakannya kepada Nabi saw dan telah dijawab/diputuskan, namun kemudian datang kepada Umar bin Khatthab lalu menanyakannya lagi. Umar kemudian masuk lalu membawa pedang dan menebas orang yang tidak mau terima jawaban Nabi saw tersebut. Riwayat itu Dahlan iringi ungkapan bahwa Zainun Kamal ini, dalam hal rukun iman, Nabi bilang enam, Harun Nasution bilang lima, lalu Zainun Kamal bilang dua. Diskusi di Al- Azhar itu banyak mencecar Zainun Kamal. https://www.nahimunkar.com/mengenang-dua-ustadz-dewan-dakwah/
***
Kyai Mashuri Sahid MA alumni Mesir, dia punya banyak kitab di rumahnya, Tebat Jaksel. Beliau ini pernah ikut pula dalam acara-acara NU tingkat nasional, dan seminar-seminar penting tingkat ulama dan cendekiawan Islam secara nasional, misalnya dalam pembahasan mengenai ekonomi Islam di puncak Bogor yang belakangan menghasilkan adanya bank mu’amalat dan fatwa haramnya bunga bank.
Hanya saja Kyai Mashuri yang banyak membaca kitab-kitab, ketika hadir di acara Bahtsul Masaail di NU, beliau heran. Ketika ada masalah yang sedang dibicarakan, lalu Kyai Mashuri menyebutkan dalil dari hadits di Kitab Bulughul Maram, langsung ditolak di majlis NU itu. Dia heran, kenapa ditolak? Karena kitab Bulughul Maram itu tidak termasuk kitab yang mu’tabarah di kalangan NU ini.
Ketika dalil dari kitab Bulughul Maram ditolak di NU, ya ga’ apa-apa, besuknya ya dikaji lagi oleh Kyai Mashuri Sahid di Radio As-Syafi’iyah Jakarta.
Sayangnya, kyai asal Cirebon ini tidak punya anak, hingga entah siapa yang mewarisi kitab-kitab beliau yang banyak itu sepeninggal beliau.
***
Dr Deliar Noer seorang pakar ilmu politik, banyak koleksi buku di rumahnya. Ilmuwan ahli ilmu politik yang satu ini termasuk orang yang tajam penanya dan mendasar kritikan-kritikannya. Bahkan di antara bukunya pun ada yang dilarang, karena tajamnya dalam mengkritik asas tunggal ehm ehm… (ga’ mampu menuliskannya, maaf). Khutbah-khutbahnya, penyampaian-penyampaiannya dalam diskusi, seminar dan sebagainya sering membangkitkan ghirah yang cukup tinggi.
Pernah Prof Dr Deliar Noer ini hanya bicara dalm diskusi di Al-Azhar Jakarta, kemudian menjadikan Menteri Agama Munawir Sjadzali tampaknya kalangkabut, dan langsung memanggil jajaran pemimpin ormas di antaranya NU. Tampaknya, dengan kritikan yang cukup mendasar dari Pak Deliar, dikhawatirkan akan muncul tandingan MUI, berupa lembaga keulamaan yang independen.
Bobot tulisan dan ceramah atau kajian yang beliau sampaikan itu di antaranya tentu saja akibat rajinnya membaca buku-buku yang beliau koleksi di rumahnya itu. Entah siapa kini yang mewarisinya dan meneruskannya.
***
Prof HM Rasjidi penentang syiah yang gigih. Saya kalau ke rumahnya hanya dijagongi di emperan, jadi tidak tahu seberapa koleksi kitab-kitabnya. Konon beliau ini seorang profesor doktor yang hafal Al-Qur’an, menguasai Bahasa Arab, Inggeris, dan Prancis. Beliau sangat menyesal, kenapa memberi rekomendasi kepada Harun Nasution (pengubah kurikulum IAIN se-Indonesia dari AhlusSunnah ke Mu’tazilah) untuk bisa belajar di McGill Univercity di Canada, yang akhirnya bukan seperti yang diharapkan yaitu mampu mengkritisi pendapat-pendapat orientalis yang merusak Islam; namun justru jadi kepanjangan tangan dari mereka.
Prof HM Rasjidi yang merupakan menteri agama RI pertama itu sampai berkirim surat ke kementerian agama mengenai bukunya harun Nasution yang berbahaya bagi Islam, namun tetap tidak ditanggapi oleh Kemenag.
Di saat Munawir Sjadzali (Menteri agama RI dua periode 1983-1993, menyuarakan hukum waris Islam tidak adil), Nurcholish Madjid (bilang Islam bukan nama agama tapi sikap pasrah, maka siapa saja yang pasrah ya sudah Islam), Gus Dur (mau mengganti assalamu’alaikum jadi selamat pagi dsb) tahun 1987-an, maka Pak Rasjidi menyebut mereka itu bagai simponi yang bersahut-sahutan.
Terhadap Nurcholish Madjid, Pak Rasjidi menyebutnya: Pikirannya berbahaya karena sederhana. Ketika saya minta penjelasan kepada Pak Rasjidi di rumahnya, maksud kata-kata itu, maka dengan sopan dia kemukakan, ada dua orang, yang satu bodoh tapi masih (mending), agak punya malu; sedang yang satunya, sudah bodoh, tidak punya malu lagi (hingga mau mengganti salam Islam itu tadi?).
Baru-baru ini, saya mengutip perkataan Pak Rasjidi itu ketika dauroh di depan para pegiat Islam di Blora Jawa Tengah: Pikirannya berbahaya karena sederhana. Lalu saya kemukakan, ada artis (jupe?) yang pernah menjagokan diri untuk majau jadi calon kepala daerah di Pacitan, namun ditolak oleh orang daerah. Lalu ada advokat pembela Jupe yang juga selebritis bilang, Jupe dan Nabi Muhammad sama-sama ditolak oleh orang daerah, karena beliau (Nabi saw) ditolak orang Mekkah pada mulanya.
Nah, menyamakan si anu dengan Nabi Muhammad saw seperti itu ibaratnya menyamakan (maaf) kotoran dengan emas hanya karena sama-sama kuning warnanya. Kalau dikembalikan kepada perkataan Pak Rasjidi, pemikirannya berbahaya karana sederhana, makna dari sederhana itu apa?
Goblok… jawab hadirin.
Kembali kepada Pak HM Rasjidi, dari tahun 1980-an telah menyuarakan penentangannya terhadap syiah, bahkan beliau menulis buku pula tentang betapa sesatnya syiah, Apa Itu Syiah. Buku itu tampaknya ditulis berdasarkan referensi kitab-kitab dan pengamatan langsung di Iran sana, jadi Dubes RI di Iran (1953-1954). Penjelasan tentang betapa sesatnya syiah itu pernah disampaikan pula oleh Pk Prof Rasjidi di lembaga As-Syaf’iyah di Puloair Sukabumi Jawa Barat. Maka tidak mengherankan, Masjid as-Syafi’iyah di Balimatraman Tebet Jakarta Selatan akan dijadikan tempat Deklarasi Anti Syiah, Ahad 25 Oktober 2015 dengan sejumlah tokoh yang berbicara dari Bandung dan Jakarta.
Ketika seseorang rajin membaca kitab-kitab, mengamati keadaan dengan cermat, memegangi Islam dengan teguh, dan menyampaikannya kepada Ummat, maka walau telah wafat sepertinya masih hidup di tengah-tengah kita.
Masih banyak tokoh-tokoh lain yang seperti saya ceritakan ini, namun mudah-mudahan yang sedikit ini jadi peringatan dan ‘ibrah bagi kita semua.
Ilustrasi foto kitab-kitab/ artikelpustakawan
Jakarta, malam ‘Asyura 1437H, 23 Oktober 2015.
(Hartono Ahmad Jaiz)