Oleh : Dr. Slamet Muliono*
Bagi pemikir Barat dan pengikutnya, Islam bukan hanya menarik untuk dikaji secara akademik tetapi sekaligus sebagai pintu masuk dan target untuk mereproduksi isu atau wacana yang berujung penindasan terhadap Islam itu sendiri. Namun wacana akademik itu selalu dinarasikan untuk mengagungkan Islam tetapi narasi empiriknya justru menghinakan Islam. Seolah tak pernah habis, umat Islam terus menerus dijadikan sasaran penindasan dan penghinaan. Dan yang lebih unik lagi, penindasan diawali dan diwacanakan oleh mereka yang mengaku membela dan menjaga kemuliaan Islam. Wacana yang mereka gulirkan bukan justru meredam suasana panas tetapi justru berpotensi menciptakan gejolak dan kerawanan sosial yang lebih luas.
Hasil survei Wahid Foundation merupakan salah satu contohnya. Mereka menunjukkan adanya ancaman gerakan radikal. Wacana terorisme dijadikan isu yang menarik dan menggiurkan. Dikatakan menarik, karena terorisme merupakan isu global yang menjadi pintu masuk untuk mendiskreditkan umat Islam. Dikatakan menggiurkan karena dengan menggelindingkan isu terorisme akan menghasilkan kerja-kerja berkelanjutan.
Sebagaimana diketahui, Wahid Foundation merilis hasil surveinya bahwa 11 juta muslim Indonesia berpotensi radikal. Mereka menyampaikan bahwa 7,7 % dari jumlah 150 juta muslim Indonesia atau 11,5 juta umat Islam berpotensi bertindak radikal. Mereka mengakui, meski bukan angka faktual namun data ini harus diperhatikan. Tindakan pengusiran, berdemonstrasi menentang kelompok yang dinilai mengancam kesucian Islam atau melakukan penyerangan terhadap rumah ibadah pemeluk agama lain merupakan indikator tindakan radikal. Kecenderungan intoleransi dan radikalisme, disebabkan terutama oleh pemahaman agama Islam yang bersifat literal (harfiyah). Bahkan pemahaman tersebut diberi ruang publik dalam bentuk ceramah atau pengajaran. Yenny Zannuba Wahid, selaku direktur Wahid Foundation mengatakan bahwa survei dilakukan karena ada kegelisahan, dimana 74,5 responden menyatakan bahwa demokrasi merupakan pemerintahan yang paling baik. Bahkan 82,3 % menyatakan bahwa Pancasila dan UUD 1945 merupakan dasar negara yang terbaik untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. (MediaIndonesia.2/8/2016)
Apa yang diungkap dari hasil survei sekilas memiliki perspektif akademik ketika menunjukkan kekhawatiran adanya kelompok radikal, namun alasan munculnya tindakan radikal merupakan kekhawatiran yang berlebihan, seperti pemahaman literal dalam memahami agama sehingga mendorong tindakan intoleransi dan radikal.
Hasil survei itu sangat kental dan berpotensi menciptakan dan menumbuhsuburkan gerakan perlawanan terhadap kecenderungan kelompok-kelompok sekuler yang selama lebih banyak merugikan Islam dan lebih condong dan menguntungkan non-Islam. Tindakan pengusiran, berdemonstrasi menentang kelompok yang dinilai mengancam kesucian Islam atau melakukan penyerangan terhadap rumah ibadah pemeluk agama lain seringkali dijadikan contoh sekaligus melabeli umat Islam sebagai kelompok radikal. Sementara ketika kelompok non-muslim melakukan hal yang sama, tidak muncul label radikal kecuali hanya sebagai kejahatan biasa.
Apa yang terjadi di Tanjungbalai (Sumatera Utara) beberapa minggu yang lalu menunjukkan adanya upaya pendeskreditan umat Islam dan menutupi faktor pemicunya. Umat Islam yang melakukan pembakaran terhadap Vihara dipicu oleh tindakan orang non-muslim yang melakukan tindakan kurang ajar dengan melarang adzan. Demikian pula dalam kasus Tolikara (Papua), dimana umat Islam yang menjadi korban penyerangan saat melakukan ibadah shalat Idul Fitri, tetapi justru disalahkan dan dijadikan sasaran kambing hitam. Yang lebih menyakitkan, pelaku penyerangan (Jemaat GIDI) bukan ditindak, tetapi justru berindak leluasa hingga bisa masuk istana negara.
Berbagai kasus pembunuhan yang dilakukan umat Islam, tuduhan teroris langsung disematkan. Kejadian apapun yang tidak dilakukan umat Islam pun, dicari-cari dan dihubung-hubungkan dengan Islam. Sebaliknya, ketika giliran kelompok non muslim sebagai pelaku, maka pelabelan terorisme atau intoleransi tidak muncul. Bahkan ada kecenderungan menutupinya dengan mengkategorikan sebagai kejahatan biasa.
Apa yang terungkap dari hasil survei menunjukkan adanya konsistensi dalam dalam mendudukkan umat Islam sebagai kelompok yang intoleran. Gema “toleransi” hanya dilakukan ketika kuantitas umat Islam besar. Sebaliknya memperjuangkan toleransi dan pentingnya kerukunan beda agama akan terkubur ketika umat Islam minoritas. Apa yang terjadi pada warga Rohingnya di Myanmar merupakan fakta empirik. Kelompok pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) tidak muncul suaranya untuk membela umat Islam yang mengalami ketertindasan. Tokoh sekaliber Aung San Suu Kyi, sebagai penerima hadiah Nobel Perdamaian, tidak bersuara satu kata pun atas kasus Rohingnya.
Terorisme dan radikalisme bukan muncul tanpa sebab tetapi ada konteks sosial yang melatarbelakangi. Tumbuh lasuburnya tindakan radikal bukan disebabkan oleh pemahaman literal tetapi karena faktor ketidakadilan dan kesenjangan sosial. Terorisme dan radikalisme akan terus muncul ketika ketidakadilan yang terus dibidik kepada umat Islam. Demikian pula kesenjangan sosial yang muncul di dunia Islam karena adanya proses memiskinkan atau melemahkan umat Islam.
Perlakuan yang tidak adil, dan cenderung menghinakan kelompok apapun, termasuk umat Islam, justru memberi energi bagi tumbuhnya gerakan radikal dan intoleransi. Umat Islam hanyalah merespon realitas yang terus mendeskreditkan dan menginjak-injak harga diri sebagai umat Islam. Tuduhan terhadap umat Islam yang terus menerus direproduksi, dan pembelaan yang berlebihan kepada komunitas non-muslim merupakan faktor yang memperbesar lahirnya tindakan radikal.
Surabaya, 5 Agustus 2016
*Penulis adalah dosen di STAI Ali bin Abi Thalib dan Direktur Pusat Kajian Islam dan Peradaban (PUSKIP) Surabaya
Sumber : http://fokusislam.com/4431-terorisme-dan-proyek-penindasan-umat-islam.html